fatamorgaNa
(Nama yang kuberi tanpa kau tahu,
setelah ½ lusin jam bersamamu)
by:
(Episode I)
Pukul 3 pagi sekarang. Malam kian menipis, dan yang tersisa hanya selembar asa yang lama-lama jadi sia-sia. Sementara hanya suara hening yang mengisi ruang-ruang kosong dari tiap-tiap sudut kamar ; tak ada suara lain. Ada saja suara lain tapi hanya kisaran jam barulah terdengar lagi. Suara dari luar kamar. Suara air ledeng yang mengalir dari pipa PDAM yang kemudian masuk melalui pipa rumah dan selanjutnya menetes setelah melalui keran air yang rusak tepat diatas bak mandi dekat ruang tengah.
Bram, seorang yang sedari berjam-jam tak mengeluarkan suara. Berbaring tak ada kata-kata. Mungkin saja karena sunyi yang telah membunuhnya kini. Pun jika ia ingin mengelurkan kata entah kepada siapa. Tak ada seorangpun selain dia di rumah. Tak mungkinlah ia akan berbicara dengan tetesan air ledeng dalam bak mandi yang ia dengarnya. Dan tak mungkin pula ia berbicara pada tembok kamar yang mengelilinginya. Karena itulah yang ia bisa hanya diam sambil merenungi langit-langit kamar. Dan setelah jenuh dengan pemandangan itu, kemudian ia membalikkan tubuhnya kekiri merenungi tembok. Selang beberapa menit ia kembali memutar tubuhnya kearah kanan. Sekali lagi ia hanya bisa merenungi tembok. Dan itulah yang ia lakukan berulang-ulang dari pukul 11 malam sampai kini.
‘hOoooOahhhhhh……………...#$%##@!!!!’ keluhnya.
Hanya dengan mengeluarkan satu kata itu ia bangun dari pembaringannya. Perlahan ia berjalan menuju ke meja kecil disudut kamar. Sebatang rokok dan ½ gelas kopi dingin jelas dimatanya. Diseduhnya kopi dingin bekasnya sendiri kemudian menyulut rokok. Rokok yang tadinya untuk persiapan saat pagi.
Tergambar betul diwajahnya sisa-sisa kesal. Kesal pada dirinnya. Tidak kepada siapa-siapa. Tidak pula kepada tetes air ledeng yang mengaganggu tidurnya. Kesal pada dirinya yang beberapa waktu lalu hingga malam ini membangun sebuah harapan. Harapan yang ia bangunnya sendiri yang kemudian ia gambarkan indah dalam batok kepalanya. Begitu manis, begitu indah. Kecuali malam ini, harapan itu menggambar ratusan senyum diatas bibirnya.
Tak lama kemudian ia berdiri.
‘Bodoh…!’ geram pada dirinya sendiri.
Sambil menyemburkan asap rokok tepat kearah cermin didepannya.
‘Kenapa kau mulai, heh?’
Suaranya menggantikan suara hening sekeliling kamar. Kembali ia memaki laki-laki tolol yang tergambar didalam cermin.
Suasana kembali hening. Tak ada suara lagi dari mulutnya. Diredemnya suaranya kedalam fikirannya. Menjadi kata-kata halus yang tersusun disana. Didalam batok kepalanya.
‘Sudah kau tahu tak mungkin. Kenapa kau tetap bersikeras. Kenapa kau bangun harapan pada dirimu sendiri. Sangat kokoh. Dan lihat, sampai berjam-jam malam ini pun kau tak mampu robohkan harapan itu.’
Dalam fikirannya ia terus memaki dirinya sendiri.
“Jelas bukan salah perempuan itu. Cantik bukan salahnya, baik juga bukan salahnya, dan semua yang kau anggap tentang dirinya adalah bukan salahnya. Jelas semua salahmu, salah dirimu sendiri. Kau yang beri anggapan, menilainya, dan kau sendiri yang berikan pandangan tentang ia tanpa dimintanya. Itu salahmu. Alasan saja kau bilang rasa tak sengaja. Pun itu kau munculkan sendiri dalam alam fikirmu.”
Ribuan maki ia hujatkan, dan kemudian ia tersadar lagi dari lamunan. Kopi dingin kembali diseduhnya.
‘Perempuan.’ Satu kata keluar dari mulutnya.
Sekali lagi Bram menatap langit-langit kamar dan diingatnya beberapa nama yang pernah gerogoti isi dikepalanya. Sebutnya:
‘Annha, Lisya, Nhia, Echy, Fiah, Fivee, Yuyu, Phika, Irene’
Nama-nama itu tertulis dalam sejarahnya, sejarah yang ia simpan dalam memorinya sendiri. Nama yang beberapa tahun lalu tak ada dalam kepalanya sebelum ia merasakan ketertarikan dengan lawan jenis layaknya remaja lain. Tahun ketahun dan satu per satu kemudian muncul mengambil bagian cerita, selanjutnya berakhir dengan munculnya nama baru dengan cerita-cerita baru pula.
Malam hampir habis. Bram masih saja dalam alam khayalnya. Tak juga ia keluar dari sana. Telah keriting otaknya. Sisa-sisa kesal pada dirinya semakin tebal menghantui. Lebih tebal dan lebih pekat dari kafein yang ia seduh dalam ½ gelas kopi dinginnya. Kesal telah mengenal satu nama baru. Bukan Annha, Lisya, Nhia, Echy, Fiah, Fivee, atau Yuyu. Nama-nama itu telah roboh ceritanya. Irene, yah Irene, nama baru yang muncul tanpa sengaja dan tak bisa ia robohkan dalam ingatannya malam ini. Nama Irene muncul. Nama yang menjadikan nama Phika pudar beberapa waktu lalu.
***
Dikepalanya, diingatnya. Sebuah siang, tepat saat matahari tak menghadirkan bayang-bayang. Saat penat dan gerah teteskan peluh. Pukul 12 pas. Saat itu…
Kantin suasana tenang, Irene datang.
“Maaf terlambat.”
“Tidak apa-apa Ren, santai saja! Ini juga belum pukul satu. Masih banyak waktu untuk selesaikan ini” sambil melebarkan senyum.
“ Thanks.” Sambil menyisipkan balasan senyum kepada Bram.
Bram hanya bisa terdiam sejenak. Sebentar sekali. Matanya seakan dipaksa untuk berhenti berkedip untuk melihat senyum perempuan paling indah sedunia setelah senyum ibunya. Senyum yang datang dari Irene si perempuan baru.
………